Thursday, 27 August 2015

ANALISIS GENETIKA DALAM CERPEN ORANG BESAR KARYA JUJUR PRANANTO

ANALISIS GENETIKA DALAM CERPEN ORANG BESAR
KARYA JUJUR PRANANTO

Dengan membaca cermat cerpen Orang Besar karya Jujur Prananto ini dapat dirumuskan postulasi visi dunia cerpen ini adalah mengenai pluralitas dalam konteks kehidupan bermasyarakat, yaitu suatu sikap untuk menghormati sesama anggota masyarakat. Dalam hal ini, pluralitas yang digambarkan cerpen ini berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, terutama mengenai utang-piutang. Setiap individu yang hidup di dalam suatu masyarakat selalu ingin hidup damai dan saling tolong-menolong.  
1.      Pandangan Dunia Pluralitas: Analisis Struktur Cerpen
Cerpen Orang Besar menyiratkan sebuah pesan akan adanya suatu keyakinan bahwa orang kaya belum tentu tidak mempunyai hutang kepada orang miskin. Seperti pada kutipan sebagai berikut.
“Saya dengar dari Dirgono kamu ada urusan utang-piutang dengan Pak Mulawarman ya?”
“Betul, Pak Lurah.”
“Bagaimana ceritanya bisa sampai begitu?”
“Pak Lurah ingat tidak, waktu Pak Mulawarman syuting dirumah saya? Kan ada adegan menyembelih kambing? Nah, tiga ekor kambing yang disembelih itu dibeli oleh Pak Mulawarman dari saya. Tapi rupanya kesibukan syuting membuat beliau dan saya sama-sama lupa soal pembelian ini. Beliau lupa membayar dan saya lupa menagih. Sampai dengan selesainya syuting.”

Jelas pada kutipan di atas bahwa Pak Mulawarman yang pada saat itu sebagai seorang sutradara tidak lepas dari urusan utang-piutang dengan Pak Wasito yang notabene sebagai rakyat biasa.
Di sinilah posisi relasi antara tokoh utama dengan dirinya sendiri mengalami persoalan. Di satu sisi, Pak Wasito ingin meyakini kepada warga bahwa Pak Mulawarman memiliki utang kepadanya agar ia dapat membayar utang kepada Pak Dirgono. Akan tetapi keyakinan Pak Wasito belum sepenuhnya membuat warga percaya dan tidak menyangka bahwa Pak Mulawarman yang akan menjadi bupati memiliki utang kepadanya. Pendapat warga setempat yang tidak percaya dengan perkataan Pak Wasito inilah yang membuatnya belum mampu membayar utang. Seperti pada kutipan sebagai berikut.
Pak Lurah tidak langsung menjawab. Dari wajahnya terkesan seolah ia telah mengulas persoalan yang begitu pelik.
“Begini Wasito. Apa kamu tidak menyadari akibat-akibat yang bisa terjadi atas tindakan yang akan kamu lakukan?”
“Tindakan apa Pak?”
“Menagih utang pada Pak Mulawarman itu.”
“Sebetulnya saya agak malu juga, Pak. Tapi saya juga berpikir, toh tidak salah menagih utang selagi saya memang berhak.”

Dengan kenyataan ini, Pak Lurah pun bersikap seperti warga yang tak mempercayai yang namanya utang kepada rakyat bawah. Pak Lurah maupun warga yang lainnya seperti Pak Dirgono dan Pak Carik pun tak mempercayai  bahwa orang seperti Pak Mulawarman memiliki utang kepada Pak Wasito.
Persepsi ini menjadikan utang sebagai persoalan yang pelik. Harus diselesaikan dengan cara yang benar. Pak Wasito pun mengambil langkah yang akan menagih utang kepada Pak Mulawarman agar utangnya kepada Pak Carik lunas. Pak Wasito pun dengan yakin akan membayar utang kepada Pak Carik dengan kambing-kambing yang telah disembelih beliau.
Karena persoalan utang- piutang tersebut ini pun, Pak Wasito akhirnya dikucilkan oleh warga sebagai manusia yang tak punya malu. Pak Wasito juga dilarang keluar dari rumahnya dan dikenakan penjagaan ketat oleh aparat keamanan kelurahan. Seperti pada kutipan sebagai berikut.
Rasa penasaran yang luar biasa ini mendorong Wasito nekat mengutarakan hal ini kepada Pak Dirgono, dan membuat carik ini gusar.
“Sebagai orang yang mempunyai piutang saya pasti senang Pak WAsito bisa segera melunasi. Tapi sebagai aparat kelurahan saya tegas-tegas melarang kalau Pak Wasito mendapatkan uang pelunasan itu dengan mengganggu Pak Mulawarman. Sebab melihat kedudukan yang dijabatnya sekarang, orang pasti tidak akan percaya kalau beliau punya utang. Artinya kalau pak Wasito nekad menagih, salah-salah malah dianggap mengada-ada. Atau lebih parahnya lagi dituduh mencemarkan nama naik Pak Mulawarman.”
“Ah, saya rasa tidak ada unsur apa pun yang bisa mencemarkan nama baik beliau. Justru sebaliknya masyarakat akan lebih menaruh hormat. Bayangkan, seorang calon bupati masih ingat untuk membayar utang kepada orang kecil seperti saya, apa ini tidak luar biasa? Jadi dengan cara menagih sebenarnya semua pihak bisa diuntungkan. Pak Mulawarman memperoleh simpati, saya memperoleh pembayaran, dan piutang Pak Dirgono terlunasi.”

Walhasil Wasito sepenuhnya terkucil. Seluruh warga desa menertawakannya sebagai orang yang tak tahu malu. Dan karena dikhawatirkan bisa merusak acara resmi kelurahan, maka menjelang kedatangan Pak Mulawarman ia dilarang keluar dari rumahnya dan dikenakan penjagaan ketat oleh aparat kelurahan.

Dengan sikap tanggung jawab yang dimiliki oleh Pak Mulawarman, dalam acara silaturahmi tersebut beliau mengutarakan bahwa ia memiliki utang kepada Pak Wasito. Pernyataan ini membuat warga setempat menjadi heran dan situasi nya berubah menjadi gaduh. Dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Pak Mulawarman semua bentuk pengucilan kepada Pak Wasito berubah menjadi simpati dan ungkapan pujian dan kekaguman. Namun, sikap Pak Mulawarman yang seperti itu tidak lain hanya sebagai tindakan untuk menarik simpati warga desa Mardi Mulyo. Utang-piutang antara Pak Mulawarman dengan Pak Wasito tidak benar-benar dilunasinya. Seperti pada kutipan sebagai berikut.
Sampai suatu hari terdengar ketukan lima kali berturut-turut pada pintu ruang tamu, yang ritme berikut tekanannya sudah terlampau akrab di telinga Wasito dan istrinya. Wasito bergegas berjalan ke depan, namun sekonyong-konyong langkahnya tertahan.
“Kenapa Pak?”
Wasito terdiam. Wajahnya menegang. Sementara gaung gemuruh tepuk tangan di balai desa serasa masih mengiang di telinganya, sementara adegan perpisahan dengan Pak Mulawarman beberapa hari lalu serasa masih membayang di matanya, barulah kini ia sadar, bahwa isi kocek tabungannya yang tersimpan rapi di dalam almari itu belum bertambah serupiah pun.
“Bilang ke Pak Dirgono, saya tidak ada di rumah….”
Dengan berdasarkan pada penjelasan di atas, hubungan relasi antar tokoh dengan dunia, menjelaskan bahwa sebagai pribadi yang memiliki jabatan seharusnya berbuat baik jangan untuk mencari simpati dari warga. Dalam cerpen Orang Besar itu digambarkan sosok calon bupati bernama Mulawarman dengan sengaja memamerkan kepeduiannya pada acara resepsi kelurahan dengan tujuan untuk menarik simpati warga.



2.      Pandangan Dunia Pluralitas Sebagai Mediasi Struktur Cerpen dengan Struktur Masyarakat
Konteks sosial dalam cerpen tersebut telah menstrukturasi struktur karya sastra dalam mediasi pandangan dunia. Dengan melihat hero problematik dalam cerpen ini yang berupa Pak Wasito dan persoalan cerita tersebut hanya berkutat pada masalah utang dan piutang.
Dalam hal ini, cerpen ini memberikan sebuah pandangan jangan lah kita bersikap patuh dan idiologi kita memusatkan bahwa orang-orang atas tak memiliki utang dan hanya lah orang-orang bawah yang memiliki utang. Jangan hanya karena jabatan kita berpikir negatif terhadap seseorang yang dalam kenyataannya ia lah yang meminjamkan kambing kepada Pak Mulawarman yang dalam konteksnya ia merupakan seseorang yang memiliki jabatan dan orang atas yang disegani dan dihormati.

Cerpen Orang Besar merupakan pandangan dunia penulis yang distrukturasi oleh struktur kehidupan masyarakat di Indonesia, yang menganggap kelas bawah memang kelas yang memiliki utang dan kelas atas yang meminjamkan utang. Padahal tak dapat dipungkiri, bahwa kelas bawah pun meminjamkan kambing yang ditujukan utang kepada Pak Mulawarman.

No comments:

Post a Comment