ANALISIS
GENETIKA DALAM CERPEN ORANG BESAR
KARYA
JUJUR PRANANTO
Dengan membaca
cermat cerpen Orang Besar karya Jujur
Prananto ini dapat dirumuskan postulasi visi dunia cerpen ini adalah mengenai
pluralitas dalam konteks kehidupan bermasyarakat, yaitu suatu sikap untuk
menghormati sesama anggota masyarakat. Dalam hal ini, pluralitas yang digambarkan
cerpen ini berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, terutama mengenai
utang-piutang. Setiap individu yang hidup di dalam suatu masyarakat selalu ingin
hidup damai dan saling tolong-menolong.
1.
Pandangan Dunia Pluralitas: Analisis Struktur Cerpen
Cerpen
Orang Besar menyiratkan sebuah pesan
akan adanya suatu keyakinan bahwa orang kaya belum tentu tidak mempunyai hutang
kepada orang miskin. Seperti pada kutipan sebagai berikut.
…
“Saya
dengar dari Dirgono kamu ada urusan utang-piutang dengan Pak Mulawarman ya?”
“Betul,
Pak Lurah.”
“Bagaimana
ceritanya bisa sampai begitu?”
“Pak
Lurah ingat tidak, waktu Pak Mulawarman syuting dirumah saya? Kan ada adegan
menyembelih kambing? Nah, tiga ekor kambing yang disembelih itu dibeli oleh Pak
Mulawarman dari saya. Tapi rupanya kesibukan syuting membuat beliau dan saya
sama-sama lupa soal pembelian ini. Beliau lupa membayar dan saya lupa menagih.
Sampai dengan selesainya syuting.”
…
Jelas pada kutipan di atas bahwa
Pak Mulawarman yang pada saat itu sebagai seorang sutradara tidak lepas dari
urusan utang-piutang dengan Pak Wasito yang notabene sebagai rakyat biasa.
Di
sinilah posisi relasi antara tokoh utama dengan dirinya sendiri mengalami
persoalan. Di satu sisi, Pak Wasito ingin meyakini kepada warga bahwa Pak
Mulawarman memiliki utang kepadanya agar ia dapat membayar utang kepada Pak
Dirgono. Akan tetapi keyakinan Pak Wasito belum sepenuhnya membuat warga
percaya dan tidak menyangka bahwa Pak Mulawarman yang akan menjadi bupati
memiliki utang kepadanya. Pendapat warga setempat yang tidak percaya dengan
perkataan Pak Wasito inilah yang membuatnya belum mampu membayar utang. Seperti
pada kutipan sebagai berikut.
…
Pak Lurah tidak langsung
menjawab. Dari wajahnya terkesan seolah ia telah mengulas persoalan yang begitu
pelik.
“Begini Wasito. Apa kamu tidak
menyadari akibat-akibat yang bisa terjadi atas tindakan yang akan kamu
lakukan?”
“Tindakan apa Pak?”
“Menagih utang pada Pak
Mulawarman itu.”
“Sebetulnya saya agak malu juga,
Pak. Tapi saya juga berpikir, toh tidak salah menagih utang selagi saya memang
berhak.”
…
Dengan kenyataan ini,
Pak Lurah pun bersikap seperti warga yang tak mempercayai yang namanya utang
kepada rakyat bawah. Pak Lurah maupun warga yang lainnya seperti Pak Dirgono
dan Pak Carik pun tak mempercayai bahwa
orang seperti Pak Mulawarman memiliki utang kepada Pak Wasito.
Persepsi
ini menjadikan utang sebagai persoalan yang pelik. Harus diselesaikan dengan
cara yang benar. Pak Wasito pun mengambil langkah yang akan menagih utang
kepada Pak Mulawarman agar utangnya kepada Pak Carik lunas. Pak Wasito pun
dengan yakin akan membayar utang kepada Pak Carik dengan kambing-kambing yang
telah disembelih beliau.
Karena
persoalan utang- piutang tersebut ini pun, Pak Wasito akhirnya dikucilkan oleh
warga sebagai manusia yang tak punya malu. Pak Wasito juga dilarang keluar dari
rumahnya dan dikenakan penjagaan ketat oleh aparat keamanan kelurahan. Seperti
pada kutipan sebagai berikut.
…
Rasa
penasaran yang luar biasa ini mendorong Wasito nekat mengutarakan hal ini
kepada Pak Dirgono, dan membuat carik ini gusar.
“Sebagai
orang yang mempunyai piutang saya pasti senang Pak WAsito bisa segera melunasi.
Tapi sebagai aparat kelurahan saya tegas-tegas melarang kalau Pak Wasito
mendapatkan uang pelunasan itu dengan mengganggu Pak Mulawarman. Sebab melihat
kedudukan yang dijabatnya sekarang, orang pasti tidak akan percaya kalau beliau
punya utang. Artinya kalau pak Wasito nekad menagih, salah-salah malah dianggap
mengada-ada. Atau lebih parahnya lagi dituduh mencemarkan nama naik Pak Mulawarman.”
“Ah,
saya rasa tidak ada unsur apa pun yang bisa mencemarkan nama baik beliau.
Justru sebaliknya masyarakat akan lebih menaruh hormat. Bayangkan, seorang
calon bupati masih ingat untuk membayar utang kepada orang kecil seperti saya,
apa ini tidak luar biasa? Jadi dengan cara menagih sebenarnya semua pihak bisa
diuntungkan. Pak Mulawarman memperoleh simpati, saya memperoleh pembayaran, dan
piutang Pak Dirgono terlunasi.”
…
…
Walhasil
Wasito sepenuhnya terkucil. Seluruh warga desa menertawakannya sebagai orang
yang tak tahu malu. Dan karena dikhawatirkan bisa merusak acara resmi
kelurahan, maka menjelang kedatangan Pak Mulawarman ia dilarang keluar dari
rumahnya dan dikenakan penjagaan ketat oleh aparat kelurahan.
…
Dengan
sikap tanggung jawab yang dimiliki oleh Pak Mulawarman, dalam acara silaturahmi
tersebut beliau mengutarakan bahwa ia memiliki utang kepada Pak Wasito.
Pernyataan ini membuat warga setempat menjadi heran dan situasi nya berubah
menjadi gaduh. Dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Pak Mulawarman semua
bentuk pengucilan kepada Pak Wasito berubah menjadi simpati dan ungkapan pujian
dan kekaguman. Namun, sikap Pak Mulawarman yang seperti itu tidak lain hanya
sebagai tindakan untuk menarik simpati warga desa Mardi Mulyo. Utang-piutang
antara Pak Mulawarman dengan Pak Wasito tidak benar-benar dilunasinya. Seperti
pada kutipan sebagai berikut.
…
Sampai
suatu hari terdengar ketukan lima kali berturut-turut pada pintu ruang tamu,
yang ritme berikut tekanannya sudah terlampau akrab di telinga Wasito dan
istrinya. Wasito bergegas berjalan ke depan, namun sekonyong-konyong langkahnya
tertahan.
“Kenapa
Pak?”
Wasito
terdiam. Wajahnya menegang. Sementara gaung gemuruh tepuk tangan di balai desa
serasa masih mengiang di telinganya, sementara adegan perpisahan dengan Pak
Mulawarman beberapa hari lalu serasa masih membayang di matanya, barulah kini
ia sadar, bahwa isi kocek tabungannya yang tersimpan rapi di dalam almari itu belum
bertambah serupiah pun.
“Bilang
ke Pak Dirgono, saya tidak ada di rumah….”
…
Dengan
berdasarkan pada penjelasan di atas, hubungan relasi antar tokoh dengan dunia,
menjelaskan bahwa sebagai pribadi yang memiliki jabatan seharusnya berbuat baik
jangan untuk mencari simpati dari warga. Dalam cerpen Orang Besar itu digambarkan sosok calon bupati bernama Mulawarman
dengan sengaja memamerkan kepeduiannya pada acara resepsi kelurahan dengan
tujuan untuk menarik simpati warga.
2.
Pandangan Dunia Pluralitas Sebagai Mediasi Struktur
Cerpen dengan Struktur Masyarakat
Konteks
sosial dalam cerpen tersebut telah menstrukturasi struktur karya sastra dalam
mediasi pandangan dunia. Dengan melihat hero problematik dalam cerpen ini yang
berupa Pak Wasito dan persoalan cerita tersebut hanya berkutat pada masalah
utang dan piutang.
Dalam
hal ini, cerpen ini memberikan sebuah pandangan jangan lah kita bersikap patuh
dan idiologi kita memusatkan bahwa orang-orang atas tak memiliki utang dan
hanya lah orang-orang bawah yang memiliki utang. Jangan hanya karena jabatan
kita berpikir negatif terhadap seseorang yang dalam kenyataannya ia lah yang
meminjamkan kambing kepada Pak Mulawarman yang dalam konteksnya ia merupakan
seseorang yang memiliki jabatan dan orang atas yang disegani dan dihormati.
Cerpen
Orang Besar merupakan pandangan dunia
penulis yang distrukturasi oleh struktur kehidupan masyarakat di Indonesia,
yang menganggap kelas bawah memang kelas yang memiliki utang dan kelas atas
yang meminjamkan utang. Padahal tak dapat dipungkiri, bahwa kelas bawah pun
meminjamkan kambing yang ditujukan utang kepada Pak Mulawarman.
No comments:
Post a Comment