Analisis Psikologi
Tokoh Utama pada Novel Supernova Episode Akar Karya Dewi Lestari
ABSTRAK
Penelitian novel Supernova
Episode Akar in bertolak dari permasalahan pokok yaitu wujud aspek
psikologi dalam pencarian jati diri tentang perjalanan kisah hidup Bodhi yang
sebatang kara dalam menemukan jati dirinya serta berbagai rintangan yang muncul
dan harus dihadapinya dengan tegar membuat dia menjadi seorang yang
berkepribadian kuat, tegar, dan mudah menyesuaikan diri di lingkungan manapun dia
berada. Setelah sebelumnya dia tinggal di lingkungan vihara dan diasuh oleh
seorang Biksu. Pencarian pengalaman hidup Bodhi dimulai dengan menjadi seorang cleaning service sebuah hotel yang
kemudian membawanya mendapatkan pengalaman hidup di tempat-tempat lain.
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif-deskriptif, karena data yang dianalisis dan hasil analisisnya
berbentuk deskripsi fenomena Kata-kata kunci :
Pencarian
Jati diri – Novel Supernova Edisi Akar - Psikologi
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif, karena data yang dianalisis dan
hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau
koefisien tentang hubungan antar variable.
Objek penelitian ini adalah aspek
psikologi pada tokoh Bodhi dalam novel Supernova
Episode Akar karya Dewi Lestari yang diterbitkan tahun 2002 oleh Truedee
Books, Jakarta.
Wujud data dalam
penelitian ini berupa kata-kata, frasa, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam
novel Supernova Episode Akar karya
Dewi Lestari. Sumber data dalam penelitian ini adalah data kepustakaan yang
berupa buku, transkrip, majalah, dan lain-lain yang berhubungan dengan
permasalahan yang menjadi objek penelitian.
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka,
simak, dan catat. Hasil penyimakan itu dicatat sebagai data. Dalam data yang
dicatat itu disertakan pula kode sumber datanya untuk pengecekan ulang terhadap
sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis mengungkapkan bahwa salah satu tema Novel
Supernova menunjuk kepada pencarian jati diri. Teks supernova mengungkapkan
berbagai pengalaman mengenai perjalanan tentang seorang backpacker yang dianalisis berdasarkan aspek psikologi.
Menurut Wundt (lih. Devidoff, 1981), psikologi itu
merupakan ilmu tentang
kesadaran manusia (the science of human
consciousness). Para ahli psikologi akan mempelajari proses-proses
elementer dari kesadaran manusia itu. Dari batasan ini dapat dikemukakan bahwa
kesadaran jiwa direfleksikan dalam kesadaran manusia. Unsur kesadaran merupakan
suatu hal yang dipelajari dalam psikologi itu.
Jiwa sebagai kekuatan hidup (levens beginsel) atau sebabnya hidup telah pula dikemukakan oleh
Aristoteles, yang memandang ilmu jiwa sebagai ilmu yang mempelajari
gejala-gejala kehidupan. Jiwa adalah merupakan unsur kehidupan, karena itu
tiap-tiap makhluk hidup mempunyai jiwa. Jadi baik manusia, hewan, maupun
tumbuh-tumbuhan menurut pendapat Aristoteles adalah berjiwa atau beranima.
Karena itu maka terdapat tiga macam anima, yaitu:
1. Anima
vegetativa, yaitu anima atau jiwa
yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan, yang mempunyai kemampuan untuk makan-minum,
dan berkembang biar.
2. Anima
sensetiva, yaitu anima atau jiwa yang
terdapat pada kalangan hewan yang di samping mempunyai kemampuan-kemampuan
seperti pada anima vegetiva juga mempunyai kemampuan-kemampuan untuk berpindah tempat,
mempunyai nafsu, dapat mengamati, dapat menyimpan pengalaman-pengalamannya.
3. Anima
intelektiva, yaitu yang terdapat pada manusia,
selain mempunyai kemampuan-kemampuan seperti yang terdapat pada lapangan hewan
masih mempunyai kemampuan lain yaitu berpikir dan berkemauan (Bigot, dkk.,
1950).
Seperti yang telah dikemukakan di atas psikologi itu
merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Akan tetapi oleh karena jiwa itu
sendiri tidak menampak, maka yang dapat dilihat atau diobservasi adalah perilaku
atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manifestasi atau penjelmaan kehidupan
jiwa itu. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku maupun aktivitas-aktivitas yang
lain. Karena itu psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari
tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup
kejiwaan. Perilaku atau aktivitas-aktivitas di sini adalah dalam pengertian
yang luas, yaitu meliputi perilaku yang menampak (overt behavior) dan juga perilaku yang tidak menampak (innert behavior), atau kalau yang
dikemukakan oleh Woodworth dan Marquis ialah baik aktivitas motorik, aktivitas
kognitif, maupun aktivitas emosional. Jadi dalam psikologi ada perilaku dan
kehidupan jiwa atau psikis. Hal senada juga dikemukakan oleh Passer & Smith
(2004) yang jelas-jelas dalam bukunya yang berjudul “Psychology (The Science of
Mind and Behavior)”. Jadi dalam psikologi mencakup perilaku dan mind atau jiwa.
Dalam
pencarian jati diri, sangat memiliki potensi yang memiliki pengaruh besar
terhadap perkembangan jiwa manusia. Dapat dikatakan karakter manusia memiliki
perubahan yang selalu tidak tetap, dari kondisi yang entrophy ke kondisi negen
trophy. Kondisi entrophy merupakan kondisi dimana kesadaran manusia belum
tertata rapih (pengetahuan, perasaan dsb) sebaliknya kondisi negen trophy
merupakan kondisi dimana kesadaran manusia sudah tertata rapi, masing-masing
isi berkaitan dan berfungsi secara maksimal.
Kondisi
Entrophy bodhi dimulai dari Pengalaman pahit dalam menjelajahi pencarian jati
diri terjadi pada tokoh utama (bodhi) sebagai backpacker. pada awalnya tinggal
di wihara dan dibesarkan oleh Guru Liong. Akhirnya nasib menggiringnya untuk
berpetualang meningalkan wihara tersebut. Awal dari penjelajahan Bodhi di awali di Bangkok kemudian
ke Laos, kembali lagi ke Bangkok dan akhirnya ke Kamboja dengan petualangan
yang makin seru karena Kamboja adalah area konflik para pasukan pemberontak. Dalam
petualangannya itu, Bodhi bertemu dengan orang-orang hebat yang mengubah
nasibnya. Pelajaran hidup akan selalu didapat dimanapun dia berada, bahwa Dalam kehidupan ini kita tidak
tahu pasti apa yang akan kita hadapi. Hal ini
secara eksplisit disampaikan pengarang melalui penyampaian Bodhi ketika
menyudahi ceritanya :
“Hidup ibarat memancing di Kali Ciliwung. Kamu
tidak pernah tahu apa yang akan kamu dapat: ikan, impun, sendai jepit, taik,
bangkai, dan benda-benda ajaib lain yang tak terbayangkan. Dan nggak perlu
dibayangkan. Jangan pernah tebak-tebakan dengan Ciliwung tentang isi perutnya.
Terima kasih.” (halaman 199)
Semasa di wihara Bodhi sangat memiliki karakter atau jiwa
yang sangat berbeda dengan teman seusianya. Semasa kecilnya bodhi selalu
tinggal di wihara tanpa bermain diluar dengan temannya meninggalkan wihara (kuper). ia selalu mendapat pendidikan
dari guru liong hingga pada akhirnya ia diketahui memiliki indera keenam
bahkan dikira memiliki kelainan (gila).
Hal ini tercermin pada kutipan :
“umur enam tahun saya baru sadar ada yang tidak beres.
Dunia yang tertangkap panca indera saya ternyata beda dengan orang lain.
Kadang-kadang saya harus jalan sambil terus meraba tembok supaya bisa tetap
mengukur dimensi panjang lebar-tinggi, sesuatu yang kalian lakukan tanpa usaha.
Ketika lantai yang saya pijak mendadak hilang dan berubah jadi pusaran api,
saya bingung mana yang harus saya percaya : mata atau jari kaki. Merem juga
percuma. Seringnya kelopak in ngga berfungsi. Apa yang saya lihat dengan mata
terbuka dan terpejam. . . sama. Kalau udah ngga kuat saya Cuma bisa nangis atau
ngompol.” (hlm. 33)
“pernah juga saya terbangun dan menemukan tubuh ini
melayang tanpa tempat tidur, bahkan tanpa ruangan. Sekeliling saya Cuma hitam
dan lampu-lampu kecil yang banyak sekali. Saya baru pingsan waktu melihat ada
bola biru terapung di bawah jempol kaki.”
(hlm. 33)
Pada usia enam tahun, jelaslah bodhi memiliki jiwa
semacam halusinasi yang sangat hebat hingga membuat dirinya sulit mengontrol
sampai kemarahan pun mendatangi dirinya. Halusinasi tersebut terus
menghampirinya hingga bodhi beranjak dewasa.
Pada usia 11 tahun bodhi mengalami hal yang sama,
kemampuanya dalam menginterpretasikan suatu keadaan yang mustahil dicerna oleh
manusia pada umumnya. Hal ini tercermin pada kutipan:
“Kejadian lain, waktu saya berumur sebelas tahun, ketika
sedang makan bakpao manis favorit saya. Dan, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba
saya merasa bakpao itu diselimuti selaput halus yang bergerak-gerak, cepat
sekali. Saking cepatnya, bentuk bakpao saya tetap utuh . . . tapi dia seperti
hidup! Dan ketika saya melihat sekeliling, ternyata selaput aneh itu ada
dimana-mana: di rambut, di muka, di tangan, di udara, di sampah lebih banyak
lagi. Sampai saya sadar selaput itu adalah kawanan kuman, atau apalah,
mikroorganisme yang seharusnya tidak terlihat oleh mata telanjang. Sejam lebih
pemandangan itu ngga hilang-hilang. Hasilnya, saya ngga bisa makan tiga hari.
Plus, sembelit seminggu karena tidak kuat melihat berak seminggu.”(hlm. 34)
“Beranjak remaja, pengalaman aneh itu berubah tipe. Bukan
lagi pemandangan seram-seram, tapi sepertinya tubuh saya mengejar pengalaman
yang lebih terpadu. Satu hari, ketika selesai meditasi sambil berbaring, saya
bangkit duduk dan . . . badan ini tidak ikut. Waktu itu saya merasa yakin sudah
mati, karena lama-lama sensor atas dunia—realitas fisik ini—hilang. Semua pang
saya lihat bergerak cepat sesuai gerak pikiran. Bisa kalian bayangkan? Ternyata
pikiran itu tak terhingga liarnya, luasnya, cepatnya. Luar biasa ringan,
sekaligus mengerikan. Saya tidak bisa kasih gambaran persisnya. Cuma penyair
barangkali Uia. Itu juga kalau mereka tak jadi gila. Setelah beberapa saat
lompat-lompat—atau entah apa namanya itu—saya kembali tersedot, masuk ke tubuh
lagi, dan rasanya sangat, SANGAT sakit. Pertama kali itu terjadi, saya
muntah-muntah, lalu jadinya tidur terus. Kayak bayi baru lahir yang masih
beradaptasi dengan tubuh sendiri. Tapi lama-lama, setelah kejadian sama
terulang dan tendang lagi, akhirnya, ya biasa juga.” (hlm.35)
“Fase berikut, yang menurut saya paling parah, yaitu
ketika diri saya sering berubah identitas. Maksudnya begini. Tahukah kalian
bagaimana rasanya jadi tikus got? Kucing? Bahkan lalat? Saya tahu. Lalat
merupakan pengalaman pertama. Hari itu ada satu ekor yang hinggap di atas nasi
yang sedang saya makan. Saya cuma melihatnya sekilas sebelum mengibas, dan tahu
apa yang terjadi? Mendadak kepala saya kesemutan, seperti diremas dan dibawa
lari. Tiba-tiba, dunia jadi kabur, berpendar, dengan warna-warna menyala yang
aneh. Saya tidak mengenal apapun yang saya lihat. Kata- kata hilang, tinggal .
. . rasa. Lapar. Takut. Sesaat kemudian, semuanya lenyap lagi, dengan sensasi
kesetrum yang sama. Tadinya saya nggak yakin apa artinya. Saya baru sadar
ketika bertatapan lagi dengan si lalat, yang masih diam. Tapi kali ini, saya
melihat diri saya . . . dalam dirinya.
Sejak itu banyak sekali pengalaman terulang, bahkan cuma
binatang, manusia juga. Selama sekian detik, saya merasakan persis apa yang
mereka rasakan. Berpapasan di jalan dengan seseorang, tiba- tiba saya
perspektif saya berbalik, berlawanan arah sesuai dengan perspektif orang itu.
Awalnya memang asyik. Dan karena cuma terjadi beberapa detik, jadinya
menyenangkan. Tapi, saya tidak punya kendali—semua kejadian itu nggak ada
tanda-tanda—Cuma bisa pasrah dan siap dikejutkan kapan saja. Saya mulai takut
bakal terjadi sesuatu yang mengerikan. Dan memang betul . . . Satu hari, saya
lewat lapangan besar yang lagi ada upacara kurban. Nggak sengaja, mata saya
beradu dengan sapi yang mau disembelih, dan . . . badan saya tiba- tiba kaku.
Saya tidak bisa menjabarkan. Pokoknya ingin meledak. Air mata dan keringat
dingin banjir jadi satu. Badan ini kayak dilem di tembok, tidak bisa bicara,
rahang kejang. Dan, makin- makin gawat karena ada PULUHAN hewan kurban disana! Kambing, domba, sapi, .
. . semuanya mengirimkan getaran yang sama dahsyat. Akhirnya saya meletus,
meraung- raung, histeris, rubuh, kejang- kejang, ngpmpol dan berak di celana,
sampai akhirnya pingsan. Sadar- sadar sudah di rumah sakit. Dokter bilang, pada
kasus kejang separah itu, orang bisa mati atau paling tidak sembuh total. Saya
koma lima hari, tapi bisa sembuh seratus persen kurang dari 36 jam. Baru di
sanalah Guru Liong yakin kalau saya ini memang—lain. Atau lebih tepat:
kelainan.” (hlm.38)
Ada beberapa karakter bodhi yang memiliki pengaruh kuat
hingga analisis ini menggunakan analisis psikologi. Antra lain :
Bodhi yang memiliki karakter rendah hati terhadap guru
liong. Hal ini tercermin pada kutipan :
“Berhenti memanggil saya Qianbei guru. Itu tidak pantas.
Saya yang seharusnya memanggil begitu—“ (hlm.39)
Bodhi
memiliki keteguhan prinsip meski terkadang harus dapat ia pertahankan di
tengah-tengah suasana yang selalu berganti dan sangat kuat pengaruhnya ketika
ia sedang dalam perjalanan mencari pengalaman di dalam hidupnya.
Bodhi
harus dapat mempertahankan segala sesuatu terlebih yang menyangkut kepercayaan
dan pedoman hidup. Di sisi lain Bodhi juga harus dapat membaur dan berinteraksi
dengan orang disekelilingnya yang memeng berbeda, baik tingkah laku maupun
kebudayaan. Dapat dikatakan Bodhi mampu bersaing di arus yang kental akan budaya
barat. Meski mengikuti aliran punk ia
tidak merokok, sex, mabuk dsb
Dengan Halusinasi yang selalu menghampiri bodhi dan
karakter bodhi yang sangat kuat membuat bodhi ingin terus mengetahui apa
penyebab semua itu terjadi di luar kepala manusia. Psikologi bodhi lah yang
memaksa bodhi berpetualang mencari jati dirinya meski sebenarnya ia ingin
menyudahi pengembaraanya, dalam perjalanannya sebagai backpacker ia bertemu
dengan backpacker lain.
Sebagai sebuah komunitas,
backpackers mempunyai sebuah konvensi sosial tersendiri yang menjadi ciri khasnya.
Petualangan yang menjadi tujuan backpacker membuat komunitas ini secara sadar
maupun tidak sadar saling membutuhkan antarsesama backpacker. Dalam
interaksinya dengan sesama akan muncul berbagai tradisi berkaitan dengan
kekhasan komunitas backpackers. Interaksi dengan selain komunitasnya,
lebih-lebih interaksi dengan masyarakat di negara kunjungan menjadi sebuah
interaksi yang penting bagi backpecker.
Dimensi sosial komunitas
backpacker dalam novel Supernova Episode Akar meliputi: (1) penguasaan beberapa
bahasa asing, (2) tidak adanya diskriminasi dalam komunitas, dan (3) adanya
sikap saling percaya dan setia kawan antar sesama backpacker.
1. Penguasaan Beberapa Bahasa Asing
Tujuan backpakers adalah
mengunjungi tempat-tempat tertentu yang sudah direncanakan. Tempat-tempat
tersebut tidak terbatas di dalam negeri saja. Perjalanan backpacker adalah
perjalanan lintas negara. Seorang backpacker akan mengunjungi sebuah negara
yang di negara tersebut terdapat tempat yang layak atau harus ia kunjungi. Bahkan
perjalanan ke luar negeri tersebut dirasakan sebagai perjalanan yang lebih
menantang dan lebih menyenangkan.
“Bangkok merupakan babak baru. Kelahiran baru.
Berbekal bahasa Mandarin sepotong-sepotong, Inggris seadanya, dan bahasa Pali
—yang sedikit banyak dipakai, setidaknya oleh komunitas Buddhis— saya belajar
bertahan. Buku dari Tristan saya baca setiap hari. Dan sedikit demi sedikit
mencoba mulai belajar bahasa Thai, dimulai dengan cuma ngomong 'sawat-dii krup'
[kalimat kedua yang kukuasai adalah phom kin tae phak = ‘saya cuma makan
sayur’].” (halaman 48)
2. Tidak Ada Diskriminasi dalam Komunitas
Komunitas backpacker terdiri
dari orang-orang dari berbagai daerah dan berbagai negara. Karena kesamaan
kesenangan, yaitu backpacking, komunitas mereka terbentuk tanpa ikatan apapun
selain ikatan kesamaan kesenangan dan nasib. Maka, anggota komunitas backpacker
bisa dari berbagai suku, bangsa, agama, atau kepercayaan. Dalam novel
Supernova: Episode Akar diperlihatkan adanya kelompok backpacker yang terdiri
dari orang-orang dengan berbagai macam kebangsaan.
“Tapi salah naik bus ke Butterworth-lah yang
akhirnya mempertemukanku dengan Tristan Sanders, backpacker gondrong asal
Australia yang sedang berkeliling Asia Tenggara. Aku dibawa ke komunitasnya, sesama
backpacker. Mereka berkumpul di Butterworth dan ramai-ramai mau pergi ke
Thailand lewat darat. Di antara mereka ada yang sudah backpacking di Asia
selama lima-sepuluh tahun, bahkan lebih. Ada yang mulai jalan sejak umur empat
belas tanpa berhenti. Kalau bicara soal sebab-musabab dan motivasi, jelas
macam-macam. Dorothy—yang keluar rumah sejak umur empat belas itu—alasannya
ribut dengan ortu. Ia angkat kaki dari Greenwich dan tak pernah pulang lagi.” (halaman 45-46)
Seorang backpacker tidak akan memandang rendah backpacker lainnya yang berasal dari negara lain. Bahkan setiap backpacker akan merasa senang dan simpati apabila bertemu dengan backpacker lainnya. Ungkapan simpati tersebut dapat diwujudkan dengan komunikasi yang ramah dan pemberian bantuan apabila diperlukan. Bahkan saling bertukar barang (peta atau kamus bahasa) sudah menjadi semacam tradisi bagi komunitas backpacker.
3. Kesetiakawanan yang Tinggi Antarsesama Backpacker
Kesamaan hobi dan kesamaan
nasib membuat hubungan antarindividu di dalam komunitas menjadi lebih erat.
Timbul rasa percaya yang tinggi terhadap backpacker lain. Kepercayaan itu
diungkapkan dengan berbagai macam tidakan, seperti mempercayai perkataan,
memberikan uang, atau memberikan pertolongan. Kepercayaan tersebut melahirkan
sikap kesetiakawanan yang tinggi di dalam komunitas backpacker.
Sifat setia kawan tersebut juga
ditunjukkan kepada backpacker yang baru dikenal. Seorang backpacker mempunyai
penampilan yang khas sehingga mudah dikenali oleh backpacker lainnya. Dalam
novel dikisahkan Bodhi yang baru bertemu pertama kali dengan Tristan Sanders,
dan Tristan Sanders sudah mempercayai Bodhi dan mau membantu Bodhi.
Tristan berkata,
Tristan berkata,
“Bodhi, my baldy mate,
saya tahu kamu bisa menjaga diri. Tapi, kalau ada apa-apa, ingatlah untuk
mencari kami-kami ini,” katanya sambil menepuk ransel besar di punggung.
Identitas kaumnya. Dia lalu memberikan daftar nama, nomor kontak, alamat
e-mail, kafe, dan hotel. Dan saya tahu kamu tidak memiliki cukup uang untuk
membeli ini, lanjutnya lagi, tapi kamu harus punya. Tristan menyerahkan sebuah
buku: Lonely Planet Thailand'. Travel Survival Kit. (halaman 47)
Kesetiakawanan paling kuat dalam novel adalah kesetiakawanan antara Bodhi dan Kell. Kell yang memang dari awal sudah mencari Bodhi karena ikatan batin, menolong Bodhi dalam mengatasi masalahnya. Kell juga yang banyak memberi nasehat kepada Bodhi dan mengarahkan jalan Bodhi. Hubungan antara Bodhi dan Kell sangat erat sampai Bodhi nekat menyeberang ke Laos dengan menempuh bahaya untuk menemukan Kell.
No comments:
Post a Comment