Saturday, 29 August 2015

Problematika pelafalan karena unsur bahasa daerah

Problematika pelafalan karena unsur bahasa daerah

Fonem-fonem /a/, /b/, /d/, /e/, /f/, /g/, /h/, /i/, /k/, /l/, /m/, /n/, /0/, /r/, /s/, dan /t/ yang digunakan dalam kata-kata sebagaimana tersebut di atas adalah fonem-fonem yang sesuai dengan sistem fonologi dalam bahasa Indonesia, dengan demikian termasuk pada kriteria yang analogis, artinya yang sesuai dengan fonem yang lazim dalam bahasa Indonesia. Tentu contoh-contoh tersebut masih merupakan sebagian fonem dalam bahasa Indonesia selain fonem-fonem tersebut tentu juga masih ada fonem-fonem yang lain yang lazim dalam sistem fonologi dalam bahasa Indonesia yaitu : /c/, /j/, /p/, /q/, /v/, /w/, /x/, /y/, /z/, /kh/, /sy/, /u/ dan /a/. Misalnya, tidak terdapat kata yang ditulis dengan huruf a yang dilafalkan dengan bunyi /e/.
Sehubungan dengan keterangan di atas, maka kata memuaskan, memperhatikan, mendengarkan, tidak boleh dibaca seperti kata-kata memuasken, memperhatiken, mendengarken. Jadi, kan tidak boleh dibaca /ken/. Demikian juga kata-kata yang tertulis harap, malam, datang, jangan dibaca seperti harep, malem, dateng. Dalam bahasa Indonesia ragam resmi, tidak terdapat kata harep, malem, dateng. Yang ada hanyalah harap, malam, datang. Bunyi huruf /a/ yang dilafalkan atau dibaca /e/ dipengaruhi oleh bahasa daerah atau oleh dialek.

Seperti contoh kata hutang dan halangan lebih banyak dipakai dalam bahasa Indonesia sekarang ini daripada utang dan alangan yang merupakan bentuk asalnya. Kesalahan yang banyak kita dengar sekarang ini ialah bercampuraduknya bunyi e pepet dan e benar dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang seharusnya dilafalkan dengan e pepet dilafalkan orang dengan e benar, demikian pula sebaliknya.
Perhatikan: kata-kata peka, lengah, sengketa, gembong, tebar seharusnya dilafalkan dengan bunyi e benar seperti pada kata-kata ekor, enak, merah, esok, repot, belok, serong, pestol. Dalam kehidupan kebahasaan sehari-hari malah lebih sering kita dengar orang melafalkannya dengan e pepet seperti pada kata-kata senang, besar, beras, terang, jelas, gerak.
Sebaliknya kata-kata bahasa Indonesia dengan bunyi e pepet sering dilafalkan orang dengan bunyi e benar. Kata- kata ruwet, sumber, rembes, seret (lawan lancer), macet (semuanya berasal dari bahasa Jawa) seharusnya dilafalkan dengan bunyi e pepet. Namun, sering kita dengar kata- kata ini dilafalkan dengan bunyi e benar. Tentu saja oleh yang bukan suku Jawa. Kata mentereng (mentereng) di Indonesia bagian Timur dilafalkan mentereng.
Kata esa pada Tuhan Yang Maha esa sangat sering dilafalkan orang dengan e benar (esa). Lafal yang benar ialah dengan bunyi e pepet. Dalam bahasa Indonesia, sa itu berubah menjadi se dan karena terdiri atas satu suku kata saja, dituliskan sebagai awalan seperti kita lihat pada kata-kata: seekor, sebatang, sebuah, semalam, sehari; artinya ‘satu’.
Dapat disimpulkan lafal bahasa Indonesia baku ialah lafal yang tidak memperdengarkan warna lafal bahasa daerah atau dialek, juga tidak memperdengarkan warna lafal bahasa asing seperti lafal bahasa Belanda, Inggris, atau Arab. Jadi kalau ada seseorang yang bertutur bahasa Indonesia sukar ditebak dari suku bangsa mana ia berasal karena lafal dan lagu tuturnya tidak memperdengarkan warna daerah atau asing, maka dapat dikatakan orang itu telah berbahasa Indonesia yang baik, dan dengan baik pula.

No comments:

Post a Comment