Sumur
Kidem
Oleh:
Khuswatun Khasanah 1001040015
Pada
zaman dahulu kala, di suatu dusun bernama Pucungrungkad hiduplah sebuah
keluarga kecil yang bahagia. Wito, sang suami sangat menyayangi istrinya.
Begitu juga dengan Kidem, dia sangat hormat dan patuh kepada suaminya. Setiap
hari mereka lalui dengan penuh kasih sayang dan canda tawa.
Warga
dusun Pucungrungkad juga hidup tentram dan damai, saling membantu dan
menghormati sesamanya. Mata pencaharian mereka sebagian besar bertani di sawah
dan ladang, ada juga sebagian yang berternak sapi atau kambing. Warga hanya
mengandalkan air hujan dan air yang mengalir di Sungai Bener untuk keperluan
pengairan. Belum ada sumur di dusun tersebut, mereka hanya mengenal bak besar
yang digunakan untuk menampung air hujan.
Ketika
musim kemarau tiba, seluruh warga di dusun Pucungrungkad kebingungan mencari
air bersih karena air yang mengalir sungai Bener tempat mereka mengambil air
untuk segala keperluan seakan sudah tak mau mengalir lagi. Warga semakin
bingung karena sawah dan ladang tempat mereka menggantungkan hidup juga ikut
kekeringan. Belum lagi ternak-ternak mereka yang kelihatannya lesu karena
rumput yang mereka makan sudah tak lagi segar seperti biasanya. Lengkap sudah
penderitaan warga dusun pucungrungkad tersebut.
Kepala
dusun mengumpulkan warga untuk membicarakan mengenai kekeringan yang melanda
dusun tersebut. Kelapa dusun meminta usul dari warga mengenai solusi yang tepat
untuk mengatasi kekeringan tersebut. Salah satu warga mengusulkan untuk membuat
belik di pinggir sungai. Warga yang lain ada juga yang mengusulkan untuk
membuat sesajen untuk meminta hujan segera turun. Kepala dusun mempertimbangkan
usul para warganya itu.
Saat
itu terlihat ada seorang wanita yang mengangkat tangan kanannya. Wanita itu
adalah Kidem. Setelah dipersilahkan oleh Kepala dusun untuk menyampaikan
pendapatnya, Kidem mulai berbicara. Dia mengatakan bahwa semalam dia seperti
mendapatkan wangsit untuk menggali lubang yang dalam disebelah pohon beringin
belakang rumahnya. Dalam mimpinya itu ada air yang keluar deras dari dalam
tanah. Warga yang lain berbisik-bisik dan menyibir Kidem.
Kepala
dusun mengangguk-angguk sambil tersenyum setelah mendengarkan usul dari Kidem.
Dia kemudian menyampaikan kepada warganya untuk bergotong-royong membuat lubang
disebelah pohon beringin belakang rumah Kidem. Sekelompok warga ada yang protes
karena merasa kepala dusun hanya mendengarkan usul dari Kidem saja. Namun, para
warga tidak dapat menolak apa yang telah dikatakan oleh kepala dusun.
Keesokan
harinya warga berkumpul untuk membuat sumur. Warga yang laki-laki
bergotong-royong membuat sumur, termasuk Wito. Sedangkan para ibu-ibu dan
remaja perempuannya memasak di dapur untuk makan siang. Sumur dibuat di sebelah
pohon beringin yang lebat. Warga agak kesusahan dengan adanya akar-akar pohon
beringin yang begitu kuat di dalam tanah. Tapi mereka tetap berusaha untuk
terus menggali tanah hingga menemukan air dari dalam sumur itu.
Setelah
sampai sepuluh meter, tiba-tiba saja ada air mengalir dengan deras dari salah
satu mata air dalam sumur itu. Seluruh warga bersorak-sorak sambil mengucapkan
syukur karena mereka akhirnya mempunyai sumber air untuk keperluan sehari-hari.
Untuk mengenang peristiwa itu warga dusun Pucungrungkad menamai sumur tersebut
dengan nama Sumur Kidem.
No comments:
Post a Comment