Sunday, 27 September 2015

Aja Turu Awan Mundhak Dadi Kancane Setan


Aja Turu Awan Mundhak Dadi Kancane Setan

Artinya jangan tidur siang nanti jadi temannya setan atau tidur siang tidak baik karena seseorang yang tidur siang di dalam hidupnya akan sering mendapat godaan setan. Pada umumnya peribahasa ini dijadikan larangan dari orang tua untuk anak-anaknya. Menurut kearifan orang Jawa, siang hari merupakan waktu untuk bekerja (mencari nafkah), sedangkan malam hari merupakan waktu untuk tidur. Oleh sebab itu tidur siang dianggap menyalahi aturan. Seharusnya bekerja kok malah tidur enak-enakan. Boleh-boleh saja tidur siang jika memang benar-benar lelah, sakit, atau tidak enak badan.
Waktu itu, larangan tidur siang sangat ditekankan oleh para orang tua kepada anak kecil sampai anak muda yang telah dewasa. Menurut orang-orang tua, kegemaran tidur siang menumbuhkan rasa malas. Malas bekerja, badan menjadi loyo, dan tingkah kurang cekatan. Tidur siang menjauhkan rezeki. Gara-gara waktu bekerja dikurangi untuk tidur, penghasilan juga pasti berkurang. Karena rezeki semakin berkurang, hidupnya (orang yang suka tidur siang itu) akan kekurangan. Kalau sudah seperti itu tidak heran jika ia selalu kesulitan dalam memperjuangkan cita-cita.

Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa


Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa

Artinya jangan merasa bisa (mampu), tetapi bisalah (dapatlah) merasa (mengakui) bahwa dirinya belum bisa (belum mampu). Merasa bisa adalah sifat yang tidak terpuji. Yang disebut bisa dalam peribahasa ini adalah dari perasaan orang yang mengucapkan saja. Hanya mengaku-ngaku bisa, merasa mampu. Padahal bagaimana kenyataannya, bisa sungguh atau tidak, entahlah. Maka, jangan memiliki sifat demikian. Coba jika sampai betul-betul ditantang, dilimpahi pekerjaan yang katanya dimampui tadi. Jika katanya tidak  becus, apa tidak malu sendiri? Katanya bisa, kok ternyata hasil kerjanya tidak sebanding, jauh dengan yang sudah dibualkan. Adapun yang dimaksud dengan dapat merasa adalah sifat tahu diri atau mempu merasa dan mengakui keterbatasan diri sendiri.
1. Peribahasa ini masih sering digunakan hingga sekarang, dan juga merupakan nasihat bijaksana yang pantas dilestarikan. Sebenarnya banyak orang Jawa yang pemalu. Malu mengakui bahwa dirinya tidak bisa, malu dikatakan bodoh, malu jika dianggap kepandaiannya lebih rendah dari pada orang lain.
2. bisa merasa atau mempu mengakui berarti memiliki rasa dan perasaan yang dalam sehingga dapat digunakan untuk membangun semangat kemanusiaan serta menjaga perasaan orang lain agar dapat tenang dan tenteram dalam hidup bermasyarakat dan bersaudara.

Aja Njagakake Endhoge Si Blorok


Aja Njagakake Endhoge Si Blorok

Jika dirasakan, disimak dari kata-katanya, peribahasa ini bisa berarti jangan mengharapkan telur (si) blorok. Si Blorok dalam peribahasa biasa menjadi panggilan ayam yang bulunya blorok (belang-belang atau tidak cuma satu warna). Selain itu, peribahasa tersebut bisa pula berarti jangan mengharapkan telur menjadi blorok. Makannya jangan suka berangan-angan mengharapkan dengan sangat yakin (njagakake) sesuatu yang mustahil atau sulit terwujud. Diibaratkan seperti halnya menunggu adanya telur (ayam) yang berwarna-warni, padahal selamanya telur ayam tidak mungkin berwarna-warni.
1. Pada masa lalu telur yang biasa dikonsumsi orang Jawa hanya telur ayam, bebek, dan entok, telur ayam dan entok berwarna putih, sedangkan telur bebek berwarna biru muda kehijauan. Pada waktu itu belum ada kebiasaan orang Jawa makan telur puyuh yang kulitnya penuh totol-totol warna coklat. Kemudian, muncul peribahasa seperti itu karena menurut anggapan orang Jawa telur hanya memiliki satu warna.
2. Suka menggantukngkan diri atau mengharapkan (menunggu dengan sangat yakin) apa saja yang belum terwujud sangat tidak dibenarkan oleh orang Jawa. Siapa pun yang mempunyai sifat seperti itu akan selalu menunggu-nunggu, bekerja tidak serius atau maksimal, dan memandang remeh banyak hal. Tentu tidak jadi masalah kalau yang diharapkan terwujud. Tetapi bagaimana jika yang diharapkan tidak kesampaian? Bukankah hanya akan membawa sesal? Padahal selama menunggu sudah rugi waktu, biaya, dan sebagainya.

ANALISIS HEGEMONI DALAM CERPEN ORANG BESAR KARYA JUJUR PRANANTO

Cerpen Indonesia
Latar sosial cerpen Orang Besar terjadi pada masyarakat pedesaan dalam konteks pemerintahan orde baru. Hal ini didasarkan pada fakta-fakta: (1) Terjadi gap dalam masyarakat antara kelompok sosial miskin (kelas subordinat) yang jumlahnya mayoritas dengan orang kaya (kelas dominan) yang jumlahnya minoritas; (2) persoalan piutang tokoh diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan; (3) maraknya film-film yang mengangkat nilai-nilai perjuangan kemerdekaan yang sangat dibanggakan pada masa pemerintahan orde baru; (4) kepatuhan total setiap pimpinan desa terhadap partai yang berkuasa, yang setiap kunjungannya selalu digunakan untuk kampanye politik. Dengan mengetahui konteks sosial ini, maka analisis sosiologis dalam perspektif hegemoni dapat diuraikan.
Kelas dominan dalam cerpen Orang Besar didukuki oleh Pak Lurah, Pak Dirgono, Pak Mulawarman yang memiliki kekayaan (penghasilan) yang lebih banyak daripada rakyatnya, sedangkan kelas subordinatnya diduduki oleh Pak Wasito dan warga desa Mardi Mulyo. Relasi yang terbentuk di antara kedua kelas sosial ini berlangsung harmoni. Hal ini terjadi karena ideologi “kemanusiaan” sebagai kesadaran bersama mengingat kedua kelas sosial yang berbeda tersebut, sehingga keberbedaan kelas menjadi tersamarkan (semu). Ideologi kemanusiaan, jika dilihat dari konteks kekuasaan ini, menjadi alat hegemoni, di mana masyarakat kelas soaial ekonomi miskin (subordinat) secara suka rela menerima kelas sosial dominan kaya untuk hidup di desa.
Ideologi kemanusiaan ini digambarkan dalam cerpen Orang Besar adalah pada kutipan berikut ini.
“Pak Wasito sangat layak memperoleh penghormatan ini. Pengorbanan beliau dengan terselesaikannya film perjuangan yang saya buat di desa ini sudah tak mungkin terhitung lagi, baik pengorbanan tenaga, waktu, bahkan materi. Berapa ya, Pak Wasito, seluruh utang saya kepada Bapak? Tiga ekor kambing untuk adegan di barak tentara Belanda itu sampai sekarang belum saya bayar ya?”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pengorbanan Pak Wasito berupa nilai kemanusiaan karena Pak Warsito dengan suka rela membantu Pak Mulawarman dalam pembuatan film bertema perjuangan. Walaupun jika dilihat dari kelas sosialnya Pak Wasito berada di kelas bawah (subordinat), namun Pak Wasito dengan suka rela mau membantu proses pembuatan film yang dilakukan oleh Pak Mulawarman yang dalam cerpen tersebut berada di kelas atas (dominan). Keduanya berinteraksi melalui kerjasama pembuatan film karena kesadaran kolektif sebagai manusia.
Kesadaran sebagai manusia (humanisme) mengikat dua manusia dengan kelas sosial yang berbeda. Rasa humanisasi menjadi sistem pengetahuan bersama yang menghegemoni kelas sosial subordinat, yaitu masyarakat untuk secara sukarela patuh dalam konteks relasi harmoni yang terjalin dalam kelas sosial dominan. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan sebagai berikut.
Wasito terdiam. Kalau sudah sampai urusan bukti ia menyerah, dan buntut dari sikapnya ini gampang ditebak. Pak Dirgono melaporkan semuanya pada Pak Lurah. Pak Lurah pun segera memberikan peringatan keras pada Wasito dan bahkan meminta kepada seluruh warga desa supaya menjauhi Wasito agar “tidak terpengaruh oleh segala macam hasutannya”.
Walhasil Wasito sepenuhnya terkucil. Seluruh warga desa menertawakannya sebagai orang yang tak tahu malu. Dan karena dikhawatirkan bisa merusak acara resmi kelurahan, maka menjelang kedatangan Pak Mulawarman ia dilarang keluar dari rumahnya sendiri dan dikenakan penjagaan ketat oleh aparat keamanan kelurahan.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Pak Lurah dan Pak Carik yang mempunyai kekuasaan di desa tersebut untuk mempengaruhi warga agar tidak terpengaruh oleh omongan Pak Wasito dan menganggap bahwa Pak Wasito sudah gila.
Persoalan piutang diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan. Sekalipun Pak Wasito memiliki hutang yang telah lama tidak dibayar pada Pak Carik Dirgono, tetapi penagihan hutang itu tidak dilakukan dengan cara yang represif. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran bersama yang berupa ideologi semu, yang erat mengikat hubungan antar kelas dalam masyarakat desa.
Pada mulanya, seluruh warga desa patuh pada Pak Mulawarman, yang saat itu menjadi sutradara dengan posisi kelas bawah, karena didasarkan pada ideologi kesadaran kemanusiaan. Namun, setelah pak Mulawaman menjadi politikus dari partai yang berkuasa (kelas atas), kepatuhan warga Mardi Mulyo berubah kesadaran kepatuhan sistem yang cenderung represif-formal karena takut dengan pemerintahan orde baru. Implikasinya, kunjungan Pak Mulawarman dulu sebagai sutradara disambut hormat dengan rasa kemanusiaan, tetapi saat kunjungan lagi dengan tujuan kepartaian politik disambut dengan kepatuhan terpaksa karena sistem birokrasi yang diwujudkan dengan seremonial.
Kepatuhan total setiap pimpinan desa terhadap partai yang berkuasa, yang setiap kunjungannya selalu digunakan untuk kampanye politik. Pak Mulawarman berkunjung ke desa Mardi mulyo dan menyanjung Pak Wasito hanya untuk kepentingan politik saja. Utang piutang pembayaran tiga ekor kambing yang diharapkan Pak Wasito tidak dibayarkan juga. Pak Mulawarman telah berubah. Hal ini menunjukkan sistem politik masa orde baru yang telah mampu mengubah kedirian dan ideologi individu. Di sinilah Pak Wasito semua yang dikatakan Pak Mulawarman itu palsu. Kepalsuan seorang politikus orde baru yang sengaja ingin mencari dukungan dengan mengandalkan sistem relasi kelas yang reseptif. Seperti dalam kutipan sebagai berikut.
Sampai suatu hari terdengar ketukan lima kali berturut-turut pada pintu ruang-tamu, yang ritme berikut tekanannya sudah terlampau akrab di telinganya Wasito dan istrinya. Wasito bergegas berjalan ke depan, namun sekonyong-konyong langkahnya tertahan.
“Kenapa, Pak?”
Wasito terdiam. Wajahnya menegang. Sementara gaung gemuruh tepuk tangan di balai desa serasa masih mengiang di telinganya, sementara adegan perpisahan dengan Pak Mulawarman beberapa hari yang lalu serasa masih membayang di matanya, barulah kini ia sadar, bahwa isi kocek tabungannya yang tersimpan rapi di dalam almari itu belum bertambah serupiah pun.
“Bilang ke Pak Dirgono, saya tidak ada di rumah….”

Dengan pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa hubungan antarkelas dalam masa pemerintahan orde baru, yaitu kelas berkuasa (atas) dengan kelas dikuasai (bawah) berlangsung harmoni karena adanya represivitas sistem. Kesadaran yang muncul di kelas bawah adalah kesadaran kelas yang berupa ideologi-ideologi yang berbeda dengan kelas atas. Akan tetapi, dengan represivitas ini, kesadaaran kelas pada kelas bawah yang ditekan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan revolusi. 

Saturday, 5 September 2015

Ana sethithik dipangan sethithik



Ana sethithik dipangan sethithik
Peribahasa ana sethithik dipangan sethithik menjadi semboyan orang Jawa, agar mampu mengatasi kesulitan hidup yang datang setiap hari, Jika direnungkan, nasehat ini sesungguhnya merupakan batu ujian yang cukup berat dan tidak mudah dilaksanakan. Namun, apabila berhasil terlaksana, akan memberi manfaat besar baik lahir maupun batin bagi diri sendiri.


Sebagai contoh pada tahun ini, kita bekerja seharian penuh dengan upah seribu rupiah. Penghasilan yang diterima tersebut jelas kecil karena tidak cukup untuk menghidupi keluarga (diri sendiri, istri, dan dua anak). Namun, sesedikit apapun, uang yang dibelanjakan harus kurang dari sepuluh ribu atau sebut saja sembilan ribu rupiah. Dengan demikian, kita masih mempunyai sisa uang seribu rupiah yang dapat digunakan untuk bekal hidup dan bekerja keesokan harinya.
Jika semuanya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, pastikah dapat menumbuhkan keberanian, ketahanan mental, kejernihan pikir, dan kebijaksanaan yang luar biasa. Dengan demikian, apa yang disebut wong cilik, kemiskinan, kesengsaraan, hanya akan terasa semu dan lahiriah semata. Jiwa dan kepribadiannya tidak miskin, tidak kerdil, dan setiap hari mampu melangkah dengan gagah dan wajah tergadah, menapaki kehidupan di dunia.

Ajining Dhiri Dumunung ing Lathi, Ajining raga saka busana

Ajining Dhiri Dumunung ing Lathi, Ajining raga saka busanaArtinya nilai diri (pribadi) seseorang terletak pada lidahnya (ucapannya), sedangkan nilai badan terletak pada pakaian yang dikenakan. Lebih jelasnya, dipercaya atau tidaknya seorang manusia tergantung dari lisan, ucapan, dan perkataan. Lain dengan nilai pribadi, nilai badan atau raga manusia sangat tergantung dari busana atau penampilaannya.

Peribahasa ini merupakan nasihat agar berhati-hati terhadap kata dan kalimat yang kita ucapkan. Sepatah dua patah kata yang meluncur dari lisan (mulut) kita akan didengar dan diperhatikan orang lain. Maka setiap ucapan harus diiringi dengan pertimbangan yang matang. Contohnya apabila sering berbohong dan tidak konsisten dalam berkata-kata, lama-kelamaan orang akan hilang kepercayaan. Siapapun yang suka mengucapkan kata-kata pedas, kasar, menusuk hati, tentu akan sulit membangun persahabatan. Sebab orang-orang akan menganggap bahwa yang bersangkutan memang suka melukai perasaan orang lain.
Berbeda dengan ucapan yang berpengaruh besar terhadap nilai-nilai pribadi seseorang, nilai raga atau badan seseorang dapat juga ditentukan oleh pakaian atau busananya. Maka, akhirnya yang pakaian bukan sekadar berfungsi sebagai penutup aurat, melainkan juga "memberi harga" atau menjadi tolok ukur nilai bagi orang yang memakainya. Misalnya jika seseorang menghadiri pesta perkawinan hanya mengenakan sandal jepit dan pakaian ala kadarnya, tentu dia akan menjadi bahan omongan orang. Seolah-olah tidak menghargai yang punya hajat, juga meremehkan tamu undangan lainnya. Bila demikian, wajar saja bila diam-diam tamu di kiri dan kanan menggunjing orang tersebut.

Ana dhaulate ora ana begjane

Maknanya adalah memiliki potensi (kemampuan) cukup untuk meraih impian, tetapi setiap kali impian itu dikejar sering gagal karena tidak punya keberuntungan. Peribahasa ini mengingatkan bahwa baik rezeki, keberuntungan, maupun musibah adalah pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, semua sudah digariskan, tidak bisa diingkari, dan manusia tinggal menjalani.
Maka digambarkan, meski pandai setinggi langit, sakti mandraguna, tetapi bila keberuntungan belum datang, semua dugaan, rencana, dan harapan akan meleset. Meski sudah bekerja ibarat membanting tulang memeras keringat, malam dijadikan siang, kepala dijadikan kaki, dan kaki dijadikan kepala, yang didapat hanya rasa lelah. Rezeki seperti air mengalir, tetapi sebentar saja lenyap, tak jelas kemana perginya, tak keruan manfaatnya. Misalnya memiliki rencana ingin memperbaiki rumah dan semua biaya sudah dipersiapkan, tiba waktunya tetap saja morat-marit karena tabungan habis untuk ongkos bermacam-macam keperluan setiap hari yang tidak kunjung henti.

Wednesday, 2 September 2015

Aja Ngutik-uthik Macan Turu

Aja Ngutik-uthik Macan Turu

Artinya jangan mengganggu harimau tidur. Ini merupakan nasihat agar kita tidak suka mengganggu orang yang memiliki tabiat buruk, gampang marah, liar, dan sebagainya.
Di Jawa, harimau digelari raja hutan (raja wana). Tentu saja penyebutan raja merupakan kiasan kiasan atau padanan. Bukan raja yang sesungguhnya yang arif bijaksana dan mampu memimpin dengan baik, tetapi sekadar disamakan karena antara raja dan harimau sama-sama berkuasa dan ditakuti. Anggapan seperti itu sangat wajar sebab harimau memang binatang buas, ditakuti baik oleh binatang lain maupun manusia. 
Dengan demikian, orang yang berkarakter kejam, berangasan, sok kuasa, liar, dan mau menang sendiri, senang mengumbar hawa nafsu, lazim disamakan dengan harimau. "Orang yang seperti harimau" sedang nyaman, tenteram, dan asik dalam dunianya sendiri, lebih baik jangan diusik sedikitpun, agar tidak sampai marah. Jika sampai merasa terganggu, dikhawatirkan sifat buruknya muncul secara mendadak sehingga membuat kekacauan dan keributan di mana-mana. Jika sudah demikian, segala sepak terjangnya akan dapat membahayakan orang lain. 

Aja Ngomong Waton, Nanging Ngomonga Nganggo Waton

Aja Ngomong Waton, Nanging Ngomonga Nganggo Waton


Artinya jangan asal bicara, tetapi bicaralah menggunakan landasan yang jelas. Peribahasa ini juga merupakan larangan agar siapapun tidak gampang bicara, menyebarkan kejelekan orang yang belum terbukti kebenarannya. Selain itu juka berbicara juga harus menerapkan sopan-santun. apa yang dibicarakan harus jelas dan cara bicaranya juga menggunakan tata krama yang benar sehingga tidak menimbulkan syak wasangka.
Demi melestarikan hubungan dengan siapapun, seyogyanya setiap tutur kata dijaga dengan baik. Tutur kata harus diatur sedemikian rupa dan tidak membesar-besarkan masalah orang yanng belum jelas duduk perkaranya. Akan fatal jadinya, jika pembicaraan seperti itu sampai ke telinga orang yang bersangkutan. Jika sudah demikian, bisa saja terjadi percecokan yang tidak diinginkan.
Peribahasa ini juga mengingatkan kepada siapapun yang bisa berbicara kepada orang banyak di berbagai tempat. Mau tidak mau dia harus menggunakan bahasa dan tata krama yang umum berlaku di tempat yang ia singgahi. Apabila dia menuruti pikiran 

Tuesday, 1 September 2015

Aja Nggenge Mangsa

Aja Nggenge Mangsa

Artinya jangan memaksakan atau mengubah waktu (yang telah ditetapkan). Dalam hal ini yang dimaksud dengan waktu terkait dengan takdir yang telah digariskan Allah SWT. Jadi, makna peribahasa ini sesungguhnya adalah jangan memaksakan diri dalam memperoleh hasil sebelum waktunya. Maka, kekjadian di dunia sebaiknya jangan dipaksa, dipercepat, atau diperlambat. Dengan kata lain, semua hal di dunia akan terjadi atau terwujud dalam waktu-waktu yang akan ditentukan oleh Tuhan Penguasa Semesta.
Peribahasa ini berangkat dari kepercayaan bahwa terwujudnya suatu peristiwa atau tercapainya cita-cita (kehendak) sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, terutama mengenai ada tidaknya izin atau perkenan dari Tuhan Yang Maha Esa. Terwujudnya keinginan tersebut sering dimaknai dan diungkapkan dalam perhitungan waktu, seperti "wis titi wancine" (waktunya sudah sampai). Contohnya perkara kelahiran bayi. Seberapapun besarnya keinginan orang tua untuk segera mendapatkan anak, mereka harus menunggu sampai lebih kurang sembilan bulan sepuluh hari bayi berada dalam kandungan. Mempercepat atau memperlambat kelahiran bayi dari ketentuan alamiah tersebut akan membahayakan berbagai masalah yang membahayakan, baik bagi si bayi maupun ibunya.
Di sisi lain, peribahasa ini juga menasehati agar orang bersabar dan tidak terburu-buru dalam mencapai cita-citanya. Dengan kata lain, jangan menuruti hawa nafsu belaka. Sebab segala macam keinginan manusia akan dikabulkan oleh Tuhan, asalkan kita memohon dengan sungguh-sungguh dan berusaha keras untuk mewujudkannya.

Aja Dumeh

Aja Dumeh

Artinya jangan berlagak atau mentang-mentang. Terjemahan bebasnya adalah jangan suka memamerkan serta menggunakan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, atau menghina orang lain. Misalnya jangan mentang-mentang kaya (aja dumeh sugih), lalu menggunakan kekayaannya untuk berbuat semena-mena sebab harta kekayaan itu tidak langgeng dan sewaktu-waktu dapat hilang (tidak dimiliki lagi). Jangan mentang-mentang berkuasa (aja dumeh kuwasa), misalnya ketika menjadi pemimpin, lalu berbuat semau sendiri terhadap orang lain.
Ada kepercayaan bahwa segala yang dimiliki manusia hanyalah titipan Tuhan. Dengan demikian, kepemilikan itu pun bersifat fana. Tanpa ijin Tuhan Pencipta Alam, seseorang tidak mungkin memiliki sesuatu. Selain itu, kekayaan yang dimiliki seseorang kenyataannya juga diperoleh atas jasa (pemberian) orang lain. Contohnya, tidak mungkin pedagang memperoleh laba atau kekayaan yang berlimpah tanpa melakukan transaksi jual beli dengan orang lain, dan tidak mendapat laba dari para pembeli.
Peribahasa ini juga menasehatkan agar siapa pun jangan mempunyai sifat berlagak. Mentang-mentang kaya, lalu menolak menyedekahkan sebagian hartanya untuk orang  miskin. mentang-mentang menjadi pemimpin, lalu tidak mau bergotong-royong dengan tetangga. Mentang-mentang sudah menjadi profesor atau guru besar tidak mau mendengarkan pendapat mereka yang berpendidikan rendah. menurut adat Jawa, sikap seperti itu sangat tercela, menyakitkan hati orang lain, dan lebih baik dijauhi.

Adigang Adigung Adiguna

Adigang Adigung Adiguna

Artinya sifat menyombongkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki. adigang adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan larinya yang luar biasa. Adigung adalah kesombongan terhadap keluhuran, keturunan, dan kebangsawanan yang dimiliki. orang yang berwatak adigung biasanya diibaratkan sebagaimana gajah yang tubuhnya besar dan nyaris tak terlawan oleh binatang lain. Adapun adiguna menonjolkan kepandaian (kecerdikan) dan digambarkan seperti watak ular yang tampak lemah, tetapi memiliki racun mematikan.
Peribahasa ini bertujuan mengingatkan mereka yang memiliki kelebihan agar tidak sombong. Sebab, kesombongan sering membuat kita lupa diri dan berdampak buruk baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain. Contohnya kijang. Secepat apa pun larinya kijang, kadang-kadang terkejar oleh harimau, dan jika sudah demikian nasibnya pun hanya akan menjadi santapan raja hutan tersebut. Dalam dongeng anak-anak diceritakan bagaimana gajah yang besar itu kalah oleh gigitan semut. Sementara itu, ular kobra yang sangat ditakuti pun akan mati lemas jika terkena sabetan cabang (carang) bambu ori atau bambu duri.
Peribahasa ini juga berisi nasihat, bahwa kelebihan yang dimiliki seseorang merupakan sesuatu yang "berguna" sekaligus "berbahaya". berguna apabila dimanfaatkan demi kebaikan, berbahaya jika hanya digunakan untuk kepuasan nafsu duniawi belaka.

Ana dina ana upa, ora obah ora mamah

Ana dina ana upa, ora obah ora mamah

Artinya ada hari ada nasi, tidak bergerak tidak mengunyah (makan). Maksudnya, selama mau bekerja apa saja dengan tekun setiap hari pasti akan mendapatkan makanan (rezeki). Dalam masyarakat Jawa waktu itu, peribahasa ini seolah-olah menjadi senjata rakyat kebanyakan yang hidupnya selalu sengsara. Setiap hari mereka hanya menunggu rezeki yang datangnya bagai tetesan gerimis di musim kemarau. Sebab mereka tidak punya modal sedikitpun, selain tangan dan kaki (fisik) belaka. Oleh karena itu, yang dapat diandalkan ketika mencari nafkah ya hanya tenaga. Pekerjaan berat dan ringan dikerjakan, yang penting mendapatkan rezeki, pulang ke rumah dapur tetap mengepul.
Filosofi ada hari ada nasi merupakan wujud dari keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan yang maha pemurah. Artinya setiap hari kita pasti dikaruniai, disediakan, dan asalnya kita tidak tahu dari mana. Adapun tidak bergerak tidak mengunnyah mengandung nasehat bahwa rezeki dari Tuhan tidak tergeletak begitu saja dan manusia tinggal mengambil dengan mudahnya. Namun, semua harus diperjuangkan dengan tenaga dan pikiran. Singkat kata, kita harus bekerja keras.
Rakyat jelata, orang kaya, miskin, semua diberi rezeki oleh Tuhan. Akan tetapi rezeki tersebut harus dicari dan diusahakan, dimana tempatnya, bagaimana mengetahuinya, bagaimana cara meraihnya, dan seterusnya. Tanpa mau berusaha seperti itu, apalagi bagi orang kecil akan sangat kekurangan, bisa saja jika mengalami sial berhari-hari perutnya tidak terisi nasi sesuap pun.