
Latar sosial cerpen Orang Besar terjadi pada masyarakat pedesaan dalam konteks pemerintahan orde baru. Hal ini didasarkan pada fakta-fakta: (1) Terjadi gap dalam masyarakat antara kelompok sosial miskin (kelas subordinat) yang jumlahnya mayoritas dengan orang kaya (kelas dominan) yang jumlahnya minoritas; (2) persoalan piutang tokoh diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan; (3) maraknya film-film yang mengangkat nilai-nilai perjuangan kemerdekaan yang sangat dibanggakan pada masa pemerintahan orde baru; (4) kepatuhan total setiap pimpinan desa terhadap partai yang berkuasa, yang setiap kunjungannya selalu digunakan untuk kampanye politik. Dengan mengetahui konteks sosial ini, maka analisis sosiologis dalam perspektif hegemoni dapat diuraikan.
Kelas dominan dalam cerpen Orang Besar didukuki oleh Pak Lurah, Pak Dirgono, Pak Mulawarman yang memiliki kekayaan (penghasilan) yang lebih banyak daripada rakyatnya, sedangkan kelas subordinatnya diduduki oleh Pak Wasito dan warga desa Mardi Mulyo. Relasi yang terbentuk di antara kedua kelas sosial ini berlangsung harmoni. Hal ini terjadi karena ideologi “kemanusiaan” sebagai kesadaran bersama mengingat kedua kelas sosial yang berbeda tersebut, sehingga keberbedaan kelas menjadi tersamarkan (semu). Ideologi kemanusiaan, jika dilihat dari konteks kekuasaan ini, menjadi alat hegemoni, di mana masyarakat kelas soaial ekonomi miskin (subordinat) secara suka rela menerima kelas sosial dominan kaya untuk hidup di desa.
Ideologi kemanusiaan ini digambarkan dalam cerpen Orang Besar adalah pada kutipan berikut ini.
“Pak Wasito sangat layak memperoleh penghormatan ini. Pengorbanan beliau dengan terselesaikannya film perjuangan yang saya buat di desa ini sudah tak mungkin terhitung lagi, baik pengorbanan tenaga, waktu, bahkan materi. Berapa ya, Pak Wasito, seluruh utang saya kepada Bapak? Tiga ekor kambing untuk adegan di barak tentara Belanda itu sampai sekarang belum saya bayar ya?”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pengorbanan Pak Wasito berupa nilai kemanusiaan karena Pak Warsito dengan suka rela membantu Pak Mulawarman dalam pembuatan film bertema perjuangan. Walaupun jika dilihat dari kelas sosialnya Pak Wasito berada di kelas bawah (subordinat), namun Pak Wasito dengan suka rela mau membantu proses pembuatan film yang dilakukan oleh Pak Mulawarman yang dalam cerpen tersebut berada di kelas atas (dominan). Keduanya berinteraksi melalui kerjasama pembuatan film karena kesadaran kolektif sebagai manusia.
Kesadaran sebagai manusia (humanisme) mengikat dua manusia dengan kelas sosial yang berbeda. Rasa humanisasi menjadi sistem pengetahuan bersama yang menghegemoni kelas sosial subordinat, yaitu masyarakat untuk secara sukarela patuh dalam konteks relasi harmoni yang terjalin dalam kelas sosial dominan. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan sebagai berikut.
Wasito terdiam. Kalau sudah sampai urusan bukti ia menyerah, dan buntut dari sikapnya ini gampang ditebak. Pak Dirgono melaporkan semuanya pada Pak Lurah. Pak Lurah pun segera memberikan peringatan keras pada Wasito dan bahkan meminta kepada seluruh warga desa supaya menjauhi Wasito agar “tidak terpengaruh oleh segala macam hasutannya”.
Walhasil Wasito sepenuhnya terkucil. Seluruh warga desa menertawakannya sebagai orang yang tak tahu malu. Dan karena dikhawatirkan bisa merusak acara resmi kelurahan, maka menjelang kedatangan Pak Mulawarman ia dilarang keluar dari rumahnya sendiri dan dikenakan penjagaan ketat oleh aparat keamanan kelurahan.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Pak Lurah dan Pak Carik yang mempunyai kekuasaan di desa tersebut untuk mempengaruhi warga agar tidak terpengaruh oleh omongan Pak Wasito dan menganggap bahwa Pak Wasito sudah gila.
Persoalan piutang diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan. Sekalipun Pak Wasito memiliki hutang yang telah lama tidak dibayar pada Pak Carik Dirgono, tetapi penagihan hutang itu tidak dilakukan dengan cara yang represif. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran bersama yang berupa ideologi semu, yang erat mengikat hubungan antar kelas dalam masyarakat desa.
Pada mulanya, seluruh warga desa patuh pada Pak Mulawarman, yang saat itu menjadi sutradara dengan posisi kelas bawah, karena didasarkan pada ideologi kesadaran kemanusiaan. Namun, setelah pak Mulawaman menjadi politikus dari partai yang berkuasa (kelas atas), kepatuhan warga Mardi Mulyo berubah kesadaran kepatuhan sistem yang cenderung represif-formal karena takut dengan pemerintahan orde baru. Implikasinya, kunjungan Pak Mulawarman dulu sebagai sutradara disambut hormat dengan rasa kemanusiaan, tetapi saat kunjungan lagi dengan tujuan kepartaian politik disambut dengan kepatuhan terpaksa karena sistem birokrasi yang diwujudkan dengan seremonial.
Kepatuhan total setiap pimpinan desa terhadap partai yang berkuasa, yang setiap kunjungannya selalu digunakan untuk kampanye politik. Pak Mulawarman berkunjung ke desa Mardi mulyo dan menyanjung Pak Wasito hanya untuk kepentingan politik saja. Utang piutang pembayaran tiga ekor kambing yang diharapkan Pak Wasito tidak dibayarkan juga. Pak Mulawarman telah berubah. Hal ini menunjukkan sistem politik masa orde baru yang telah mampu mengubah kedirian dan ideologi individu. Di sinilah Pak Wasito semua yang dikatakan Pak Mulawarman itu palsu. Kepalsuan seorang politikus orde baru yang sengaja ingin mencari dukungan dengan mengandalkan sistem relasi kelas yang reseptif. Seperti dalam kutipan sebagai berikut.
Sampai suatu hari terdengar ketukan lima kali berturut-turut pada pintu ruang-tamu, yang ritme berikut tekanannya sudah terlampau akrab di telinganya Wasito dan istrinya. Wasito bergegas berjalan ke depan, namun sekonyong-konyong langkahnya tertahan.
“Kenapa, Pak?”
Wasito terdiam. Wajahnya menegang. Sementara gaung gemuruh tepuk tangan di balai desa serasa masih mengiang di telinganya, sementara adegan perpisahan dengan Pak Mulawarman beberapa hari yang lalu serasa masih membayang di matanya, barulah kini ia sadar, bahwa isi kocek tabungannya yang tersimpan rapi di dalam almari itu belum bertambah serupiah pun.
“Bilang ke Pak Dirgono, saya tidak ada di rumah….”
No comments:
Post a Comment